Bias Jingga

Senin, 11 Agustus 2014

Hari - Hari Terakhir Bung Karno (bagian 2-habis)

Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke
Bogor, datanglah Rachmawati. Ia melihat
ayahnya dan menangis keras-keras saat tahu
wajah sang ayah bengkak-bengkak dan sulit
berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno
berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak
dan memegang kursi. Rachmawati langsung
teriak menangis.




Malamnya Rachmawati memohon pada
Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan
dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat
permohonan kepada Presiden,” kata Bung
Karno dengan suara terbata. Dengan tangan
gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya
bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan
anak-anaknya.



Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang
paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil
surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana. Di Cendana ia
ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras
rumahnya.


“Lho, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien, kaget. Bu Tien memeluk
Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati
Bu Tien tersentuh dan menggenggam tangan Rachma. Sambil
menggenggamnya, Ibu Tien mengantarkan Rachma ke ruang kerja Pak
Harto.



“Lho, Mbak Rachma... ada apa?” sapa Pak Harto dengan nada santun.
Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak
terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan
memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke
Jakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawat di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara
padanya malah lebih keras


Bung Karno sama sekali tidak
diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan
melakukan sesuatu.
Suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran
bekas bungkus sesuatu. Koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.


Kamar Bung Karno berantakan sekali. Jorok dan bau. Memang ada
yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan untuk
merawat Bung Karno, Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama
sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu
obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah
seorang perwira tinggi. Mahar hanya bisa memberikan vitamin dan
royal jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur
Bung Karno diberi vallium. Sukarno sama sekali tidak diberikan obat
untuk meredakan sakit akibat ginjalnya yang tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup
sengsara di Wisma Yaso. Beberapa orang diketahui akan nekat
membebaskan Bung Karno, bahkan ada satu pasukan khusus KKO
dikabarkan sempat menembus penjagaan dan berhasil masuk ke
dalam kamar Bung Karno. Tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena
itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk
menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja
susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-
bengkak.


Ketika tahu Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang
langsung berbondong-bondong ke menuju kesana. Sesampainya di
depan rumah mereka berteriak

“Hidup Bung Karno….hidup Bung Karno….Hidup Bung Karno…!!!”


Sukarno yang reflek karena ia mengenal
benar gegap gempita seperti ini, seketika
tertawa dan melambaikan tangan. Tapi
dengan kasarnya tentara menurunkan
tangan Sukarno dan menggiringnya ke
dalam. Bung Karno paham dia adalah
tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung
Karno parah sekali. Kini ia tidak kuat
berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang
yang bisa masuk. Ia sering berteriak
kesakitan. Biasanya penderita penyakit
ginjal memang akan diikuti kondisi psikis
yang kacau.
Ia berteriak
”Sakit….Sakit ya Allah…Sakit…”
tapi tentara pengawal diam saja karena
diperintahkan begitu oleh komandan.


Sampai-sampai ada satu tentara yang
menangis mendengar teriakan Bung Karno
di depan pintu kamar.

Kepentingan politik
tak bisa memendung rasa kemanusiaan,
dan air mata adalah bahasa paling jelas
dari rasa kemanusiaan itu.





Bung Hatta yang dilapori kondisi Bung
Karno seketika menulis surat pada
Suharto dan mengecam caranya merawat
Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di
beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu.


Lalu Hatta bicara pada isterinya Rachmi
untuk bertemu dengan Bung Karno.
“Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno
sudah jadi tahanan politik”.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata
“Sukarno adalah orang terpenting dalam
pikiranku, dia sahabatku... kami pernah
dibesarkan dalam suasana yang sama
agar negeri ini merdeka. Bila memang ada
perbedaan diantara kita itu lumrah tapi
aku tak tahan mendengar berita Sukarno
disakiti seperti ini”.
Hatta menulis surat dengan nada tegas
kepada Suharto untuk dapat bertemu
Sukarno. Ajaibnya surat Hatta langsung
disetujui. Ia diperbolehkan menjenguk
Bung Karno.


Hatta datang sendirian ke kamar Bung
Karno yang sudah hampir tidak sadar,
tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal.
Bung Karno membuka matanya. Hatta
terdiam dan berkata pelan,
“Bagaimana kabarmu, No”
Hatta, tercekat. Matanya sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya
berusaha meraih lengan Hatta, “Hoe gaat
het met Jou?” kata Bung Karno dalam
bahasa Belanda. " Bagaimana pula
kabarmu, Hatta?"


Hatta memegang lembut tangan Bung
Karno dan mendekatkan wajahnya. Air
mata Hatta mengenai wajah Bung Karno
dan Bung Karno menangis seperti anak
kecil. Dua proklamator bangsa ini
menangis. 





Di sebuah kamar yang bau dan jorok,
kamar yang menjadi saksi ada dua orang
yang memerdekakan bangsa ini di akhir
hidupnya merasa tidak bahagia. Suatu
hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung
Karno meninggal sama seperti
 pada saat

proklamasi tahun 1945, dimana Bung
Karno menunggu Hatta di kamar dahulu
sebelum mau mengucap Proklamasi. Saat
kematiannya-pun Bung Karno juga seolah
menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat
menemui Tuhan.
Mendengar kematian Bung Karno rakyat
berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat
Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak
rumah yang isinya hanya orang menangis
karena Bung Karno meninggal, tapi tentara
memerintahkan agar jangan ada rakyat
yang hadir di pemakaman Bung Karno.
Bung Karno ingin dikesankan sebagai
pribadi yang senyap.
Tapi sejarah akan kenangan tidak bisa
dibohongi. Rakyat tetap saja melawan
untuk hadir.
Hampir 5 kilometer orang antre untuk
melihat jenazah Bung Karno, di pinggir
jalan Gatot Subroto banyak orang
berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara
yang melarang rakyat melihat jenasah
Bung Karno menolak dengan hanya
duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka
diusiri tapi datang lagi. Tahu sikap rakyat
seperti itu tentara menyerah. Jutaan org
Indonesia berhamburan di jalanan pada
21 Juni 1970. Hampir semua orang yang
rajin menulis catatan hariannya pasti
mencatat tanggal itu sebagai tanggal
meninggalnya Bung Karno dengan rasa
sedih.



Koran-koran yang isinya hanya menjelek-
jelekkan Bung Karno sontak tulisannya
berbalik jadi memuja Bung Karno. Bung
Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh
dokter hewan, tidak diperlakukan dengan
secara manusiawi.






Namun, Yang Kuasa berkehendak lain.
Bung Karno mendapatkan keagungan yang
luar biasa saat dia meninggal. Jutaan
rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka
melambaikan tangan dan menangis.
Mereka berdiri kepanasan, ketakutan
diintimidasi tentara, namun tetap berdiri
dengan rasa cinta


Bukan sebuah
keterpaksaan. Bahkan hingga jauh malam,
jauh keesokan harinya, ribuan manusia
mendatangi makam Bung Karno. Mereka
terduduk, menangis, meski tentara
berusaha ektra keras mencegah jubelan
rakyat.
Dan sejarah menjadi saksi bagaimana
sebuah rezim memperlakukan orang yang
kalah, walaupun orang yang kalah itu
adalah orang yang memerdekakan
bangsanya. Orang yang menjadi alasan
terbesar mengapa Indonesia harus berdiri,
namun dia diperlakukan layaknya
binatang. Kesepian, dan terbuang.


Ahh... Bapak!


Apakah kau menyesal, Pak? Saat menolak
tawaran dosenmu untuk menjadi seorang
arsitek mapan dan justru memilih
melakukan pergerakan kebangsaan?
Ah.... pertanyaan bodoh.
Tentu kau tak menyesal. Sedikitpun tidak.
Bilapun waktu bisa diulang, diputar
kembali, kau pasti akan tetap memilih
menjadi seorang Bung Karno.
Orang-orang mengira kau telah mati. Tapi
mereka salah. Kau tetap hidup hati tiap
rakyat Indonesia, bersama Pancasila...


...bersama Pancasila, dan semua harapan!

Minggu, 10 Agustus 2014

Hari-Hari Terakhir Sang Proklamator Bagian Pertama

Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan (Nasution) di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI,


 Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana Merdeka dalam waktu 2 x 24 jam. Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno juga tak bersahabat. “Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!” tegas mereka.


 Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu disana. “Mana kakak-kakakmu?” tanya Bung Karno. Guruh menoleh ke arah bapaknya lantas berkata, “Mereka pergi ke rumah Ibu”. Rumah ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.


 Bung Karno berkata lagi, “Mas Guruh, Bapak 
tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu. Jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara,” kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana. Disana ia mengumpulkan semua ajudan- ajudannya yang setia. 

Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan, ia maklum. Ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi. Kalian jangan mengambil apapun. Lukisan-lukisan itu, souvenir dan macam- macam barang. Itu milik negara,” begitu Beliau berpesan.

 Semua ajudan menangis saat tahu Bung Karno mau pergi. “Kenapa Bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan?” salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.









Kalian tau apa,” sergah Bung Karno, “kalau saya melawan nanti perang saudara. Perang saudara itu sulit, jikalau perang dengan Belanda jelas: hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu, keluarganya sama dengan keluargamu. Lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara.” Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. “Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. 



Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya.” Sejak hari-hari sebelumnya, militer memang setengah menyetop pasokan dana ke dapur Istana, tempat Bung Karno dan keluarganya makan. Ah, sudahlah,” ujar Bung Karno sambil tertawa. “Sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa.” Di hari kedua, saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya, datang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini”. Terlihat beberapa tentara sudah memasuki ruang tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar.


 Dalam pikirannya, Bung Karno takut bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas dan ia masukkan ke dalam kaos oblong. Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar. Sesaat ia melihat wajah ajudannya, Saelan. “Aku pergi dulu,” kata Bung Karno terburu-buru. “Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak?” Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir mengantarkannya ke Ja
lan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.





 Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegangi dadanya yang sakit. Ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana telah dibuangi. 



 
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri untuk jalan-jalan. Nitri adalah orang Bali. Saat melihat duku, Bung Karno jadi ingin, tapi dia tidak punya uang. “Aku pengen duku, Tri. Sing ngelah pis , aku tidak punya uang.” Nitri yang sebenarnya hanya memiliki uang pas-pasan juga melihat ke dompetnya. Ia merasa cukuplah untuk membeli duku sekilo. 


 Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata, “Pak, bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”. Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. “Mau pilih mana, Pak? Manis- manis, nih.” sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata, “coba kamu cari yang enak.” Tukang duku itu mengernyitkan dahinya. Ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak, “Bapak… Bapak…. Bapak… Itu Bapak… BAPAAK!!!” Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan. ”Ada Pak Karno, Ada Pak Karno….” 



Mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan aneka buah- buah pada Bung Karno. Awalnya Bung Karno tertawa senang. Ia terbiasa menikmati kebersamaan dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno: ia takut rakyat yang tidak tahu apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. “Tri, berangkat! Cepat!” perintah Bung Karno. Ia melambaikan tangan ke rakyatnya yang terus-menerus memanggil namanya. Bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tahu pemimpinnya dalam keadaan susah.



 Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk (truk? ya ampun!) ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh dokter hewan. Ya, kau tak salah dengar. Proklamator negara kita ini di akhir masanya dirawat oleh dokter hewan. 

 Dan penderitaan Bapak belum berhenti sampai sana.

Senin, 04 Agustus 2014

AKU MELIHAT INDONESIA(Soekarno)


Jika aku berdiri di pantai Ngliyep...
Aku mendengar lautan Indonesia bergelora...
Membanting di pantai Ngeliyep itu...
Aku mendengar lagu –sajak Indonesia...

Jikalau aku melihat...
Sawah menguning menghijau...
Aku tidak melihat lagi...
Batang padi menguning – menghijau..
Aku melihat Indonesia...

Jika aku melihat gunung-gunung...
Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung
Merbabu...
Gunung Tangkupan Prahu, gunung
Klebet...
Dan gunung-gunung yang lain...
Aku melihat Indonesia...

Jikalau aku mendengar pangkur palaran...
Bukan lagi pangkur palaran yang
kudengarkan....
Aku mendengar Indonesia...

Jika aku menghirup udara ini...
Aku tidak lagi menghirup udara...
Aku menghirup Indonesia...
Jika aku melihat wajah anak-anak di
desa-desa...
Dengan mata yang bersinar-sinar...
(berteriak) Merdeka! Merdeka!, Pak!
Merdeka!...

Aku bukan lagi melihat mata manusia...
Aku melihat Indonesia!...