Bias Jingga

Minggu, 10 April 2016

Kuantar ke Gerbang.

Ciplikan Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno

Ketika Bung Karno dipenjara di penjara Bancey, Bandung, Bu Inggit setiap hari mengirimi makanan dan koran untuk suaminya. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah makanan-makanan itu sampai pada suaminya atau tidak. Karena setiap ia datang, setiap kali itu pula penjaga penjara membentaknya. Bahkan saat itu ia tidak diperkenankan bertemu dengan suaminya

Ketika Bung Karno dipindahkan ke rumah tahanan Sukamiskin, Bandung, Ibu Inggit setiap hari mengunjunginya dengan membawakan makanan. Karena waktu pertemuan dengan suaminya amat terbatas, maka di setiap pertemuan di penjara itu, Bu Inggit selalu memberinya semangat, selalu memotivasi Singa Podium itu. Padahal di rumah ia kesulitan keuangan. Namun hal itu tidak diungkapkan kepada Bung Karno, suaminya.

Bahkan suatu ketika Ibu Inggit sama sekali tidak punya ongkos untuk naik delman dari rumah ke penjara Sukamiskin. Namun demi menjaga semangat dan perasaan suaminya, Ibu Inggit rela berjalan kaki dari rumah menuju penjara! Buat yang tahu Bandung, jarak dari Ciateul di tengah kota (rumah Bu Inggit) ke penjara Sukamiskin yang di pinggir kota itu bukan main jauhnya!! Dalam perjalanan pulang dengan berjalan kaki dari Sukamiskin ke rumah, Bu Inggit sempat kehujanan deras sekali, sehingga sampai di rumah sudah larut malam. Tapi semua itu dilakukannya dengan ikhlas. Karena ia tahu tanggung jawabnya sebagai istri pejuang. Ia pikir, untuk apa soal remeh temeh saja diceritakan pada suaminya.

Meskipun 'hanya' lulusan madrasah, Inggit Garnasih adalah perempuan dengan kecerdasan emosi dan spiritual yang sangat tinggi. Ia pandai menyembunyikan perasaannya, memenej emosinya. Ia juga pandai menghibur dan memotivasi suaminya. Keyakinannya pada Tuhan juga sangat tinggi. Ia selalu menerima dengan ikhlas suratan takdir dirinya. Ia bukan wanita cengeng yang merengek minta uang belanja pada suami, bukan!

Selama Soekarno kuliah, Inggit lah yang membiayainya. Bahkan uang belanja dan makan sehari-hari, Inggit pun yang mengusahakannya dengan menjual jamu-jamu, bedak, dan menjahit kutang. Dan ia telah terbiasa melakukan hal ini sejak masih gadis. Ia adalah perempuan mandiri yang berhasil 'membesarkan' Soekarno. Inggit Garnasih bagi Soekarno tak lain seperti Khadijah bagi Muhammad. Bedanya, ketika Khadijah masih hidup, Muhammad adalah monogamis sejati. Namun Soekarno hendak berpoligami ketika masuk di usia 40 tahun, sementara Inggit sudah berusia 52 tahun.

Alasan 'manusiawi' yang membuat Soekarno ingin menikah lagi, karena ia ingin punya keturunan, anak kandung. Dan hal itu tidak bisa ia dapatkan dari Inggit Garnasih, karena perempuan luar biasa itu ternyata mandul. Yang menjadi pertanyaan Inggit ketika itu adalah, "Kenapa baru sekarang?". Kenapa keinginan memiliki keturunan itu baru muncul ketika usianya menginjak 52 tahun? Kenapa tidak dari dulu?

Yang mungkin lebih menyakitkan Inggit adalah, perempuan yang hendak dinikahi Kusno-nya itu adalah anak angkatnya sendiri, murid Soekarno sendiri, yaitu Fatmah alias Fatmawati. Gadis 15 tahun yang bagi Inggit sudah seperti anaknya sendiri itu.

Karena pantang dimadu, Inggit minta diceraikan. Di depan gerbang kemerdekaan Indonesia, Inggit 'dipulangkan' kembali ke keluarganya di Bandung. Sebelum berpisah, Inggit menjabat tangan Soekarno dan berkata, "Selamat jalan. Semoga semua selamat dalam perjalanan". Doanya terkabul. Soekarno selamat dalam perjalanannya membawa bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan.

Sumber : Buku Kuantar ke Gerbang