Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke
Bogor, datanglah Rachmawati. Ia melihat
ayahnya dan menangis keras-keras saat tahu
wajah sang ayah bengkak-bengkak dan sulit
berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno
berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak
dan memegang kursi. Rachmawati langsung
teriak menangis.
Malamnya Rachmawati memohon pada
Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan
dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat
permohonan kepada Presiden,” kata Bung
Karno dengan suara terbata. Dengan tangan
gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya
bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan
anak-anaknya.
Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang
paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil
surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana. Di Cendana ia
ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras
rumahnya.
“Lho, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien, kaget. Bu Tien memeluk
Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati
Bu Tien tersentuh dan menggenggam tangan Rachma. Sambil
menggenggamnya, Ibu Tien mengantarkan Rachma ke ruang kerja Pak
Harto.
“Lho, Mbak Rachma... ada apa?” sapa Pak Harto dengan nada santun.
Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak
terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan
memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke
Jakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawat di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara
padanya malah lebih keras
Bung Karno sama sekali tidak
diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan
melakukan sesuatu.
Suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran
bekas bungkus sesuatu. Koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali. Jorok dan bau. Memang ada
yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan untuk
merawat Bung Karno, Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama
sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu
obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah
seorang perwira tinggi. Mahar hanya bisa memberikan vitamin dan
royal jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur
Bung Karno diberi vallium. Sukarno sama sekali tidak diberikan obat
untuk meredakan sakit akibat ginjalnya yang tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup
sengsara di Wisma Yaso. Beberapa orang diketahui akan nekat
membebaskan Bung Karno, bahkan ada satu pasukan khusus KKO
dikabarkan sempat menembus penjagaan dan berhasil masuk ke
dalam kamar Bung Karno. Tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena
itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk
menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja
susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-
bengkak.
Ketika tahu Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang
langsung berbondong-bondong ke menuju kesana. Sesampainya di
depan rumah mereka berteriak
“Hidup Bung Karno….hidup Bung Karno….Hidup Bung Karno…!!!”
Sukarno yang reflek karena ia mengenal
benar gegap gempita seperti ini, seketika
tertawa dan melambaikan tangan. Tapi
dengan kasarnya tentara menurunkan
tangan Sukarno dan menggiringnya ke
dalam. Bung Karno paham dia adalah
tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung
Karno parah sekali. Kini ia tidak kuat
berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang
yang bisa masuk. Ia sering berteriak
kesakitan. Biasanya penderita penyakit
ginjal memang akan diikuti kondisi psikis
yang kacau.
Ia berteriak
”Sakit….Sakit ya Allah…Sakit…”
tapi tentara pengawal diam saja karena
diperintahkan begitu oleh komandan.
Sampai-sampai ada satu tentara yang
menangis mendengar teriakan Bung Karno
di depan pintu kamar.
Kepentingan politik
tak bisa memendung rasa kemanusiaan,
dan air mata adalah bahasa paling jelas
dari rasa kemanusiaan itu.
Bung Hatta yang dilapori kondisi Bung
Karno seketika menulis surat pada
Suharto dan mengecam caranya merawat
Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di
beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu.
Lalu Hatta bicara pada isterinya Rachmi
untuk bertemu dengan Bung Karno.
“Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno
sudah jadi tahanan politik”.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata
“Sukarno adalah orang terpenting dalam
pikiranku, dia sahabatku... kami pernah
dibesarkan dalam suasana yang sama
agar negeri ini merdeka. Bila memang ada
perbedaan diantara kita itu lumrah tapi
aku tak tahan mendengar berita Sukarno
disakiti seperti ini”.
Hatta menulis surat dengan nada tegas
kepada Suharto untuk dapat bertemu
Sukarno. Ajaibnya surat Hatta langsung
disetujui. Ia diperbolehkan menjenguk
Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung
Karno yang sudah hampir tidak sadar,
tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal.
Bung Karno membuka matanya. Hatta
terdiam dan berkata pelan,
“Bagaimana kabarmu, No”
Hatta, tercekat. Matanya sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya
berusaha meraih lengan Hatta, “Hoe gaat
het met Jou?” kata Bung Karno dalam
bahasa Belanda. " Bagaimana pula
kabarmu, Hatta?"
Hatta memegang lembut tangan Bung
Karno dan mendekatkan wajahnya. Air
mata Hatta mengenai wajah Bung Karno
dan Bung Karno menangis seperti anak
kecil. Dua proklamator bangsa ini
menangis.
Di sebuah kamar yang bau dan jorok,
kamar yang menjadi saksi ada dua orang
yang memerdekakan bangsa ini di akhir
hidupnya merasa tidak bahagia. Suatu
hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung
Karno meninggal sama seperti
pada saat
proklamasi tahun 1945, dimana Bung
Karno menunggu Hatta di kamar dahulu
sebelum mau mengucap Proklamasi. Saat
kematiannya-pun Bung Karno juga seolah
menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat
menemui Tuhan.
Mendengar kematian Bung Karno rakyat
berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat
Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak
rumah yang isinya hanya orang menangis
karena Bung Karno meninggal, tapi tentara
memerintahkan agar jangan ada rakyat
yang hadir di pemakaman Bung Karno.
Bung Karno ingin dikesankan sebagai
pribadi yang senyap.
Tapi sejarah akan kenangan tidak bisa
dibohongi. Rakyat tetap saja melawan
untuk hadir.
Hampir 5 kilometer orang antre untuk
melihat jenazah Bung Karno, di pinggir
jalan Gatot Subroto banyak orang
berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara
yang melarang rakyat melihat jenasah
Bung Karno menolak dengan hanya
duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka
diusiri tapi datang lagi. Tahu sikap rakyat
seperti itu tentara menyerah. Jutaan org
Indonesia berhamburan di jalanan pada
21 Juni 1970. Hampir semua orang yang
rajin menulis catatan hariannya pasti
mencatat tanggal itu sebagai tanggal
meninggalnya Bung Karno dengan rasa
sedih.
Koran-koran yang isinya hanya menjelek-
jelekkan Bung Karno sontak tulisannya
berbalik jadi memuja Bung Karno. Bung
Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh
dokter hewan, tidak diperlakukan dengan
secara manusiawi.
Namun, Yang Kuasa berkehendak lain.
Bung Karno mendapatkan keagungan yang
luar biasa saat dia meninggal. Jutaan
rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka
melambaikan tangan dan menangis.
Mereka berdiri kepanasan, ketakutan
diintimidasi tentara, namun tetap berdiri
dengan rasa cinta
Bukan sebuah
keterpaksaan. Bahkan hingga jauh malam,
jauh keesokan harinya, ribuan manusia
mendatangi makam Bung Karno. Mereka
terduduk, menangis, meski tentara
berusaha ektra keras mencegah jubelan
rakyat.
Dan sejarah menjadi saksi bagaimana
sebuah rezim memperlakukan orang yang
kalah, walaupun orang yang kalah itu
adalah orang yang memerdekakan
bangsanya. Orang yang menjadi alasan
terbesar mengapa Indonesia harus berdiri,
namun dia diperlakukan layaknya
binatang. Kesepian, dan terbuang.
Ahh... Bapak!
Apakah kau menyesal, Pak? Saat menolak
tawaran dosenmu untuk menjadi seorang
arsitek mapan dan justru memilih
melakukan pergerakan kebangsaan?
Ah.... pertanyaan bodoh.
Tentu kau tak menyesal. Sedikitpun tidak.
Bilapun waktu bisa diulang, diputar
kembali, kau pasti akan tetap memilih
menjadi seorang Bung Karno.
Orang-orang mengira kau telah mati. Tapi
mereka salah. Kau tetap hidup hati tiap
rakyat Indonesia, bersama Pancasila...
...bersama Pancasila, dan semua harapan!